Salah satu peristiwa berkesan yang semakin melecut semangatku untuk terus menggali potensi diri dalam dunia penulisan adalah saat mendapat penghargaan ini. Ketika mengirimkan tulisan untuk mengikuti kontes ini dulu, niatku tak lebih hanya ingin berbagi pada sesama emak-emak di seluruh Indonesia. Bahwa dengan menikah dan menjadi full time mother bukan berarti kita jadi terhenti untuk mengembangkan potensi diri.
Keadaan, waktu dan usia bukanlah penghalang untuk terus maju. Selagi Allah swt masih memberi kita kehidupan di bumi ini, berarti masih ada waktu untuk meraih impian yang kita mau. Memang tak semua perempuan yang mengalami hal serupa yaitu harus bersusah payah dulu dalam menggapai cita. Ada juga yang diberi kemudahan dan mulus saja dalam perjalanannya. Setidaknya bagi yang pernah merasakan susah akan lebih menikmati ketika saat kemenangan itu tiba. Sementara untuk yang selalu mendapat kemudahan, semoga bisa berbagi dengan cara lain. Tetap semangat Ladies!^__
Sri Ratna Hadi - Pemenang Harapan Share Your Career
Story.
Tinggal di Jakarta.
Selama sepuluh tahun terakhir, setiap lebaran
datang selalu muncul perasaan bersalah mendera hatiku. Semua orang
bergembira di hari yang fitri setelah menunaikan ibadah puasa nan khusuk selama
sebulan penuh. Tapi hatiku menyesali mengapa aku tak bisa beribadah secara
total sebagaimana di masa kecilku dulu. Mengisi setiap hari ramadhan dengan
puasa dan tadarus serta shalat sunnah.
Ya, profesi ini membuatku selalu keteteran setiap menjelang Idul
fitri. Aku bekerja sebagai penjahit khusus made by order. Jadi hanya mereka yang mampu membayar lebih
dan punya taste of style yang datang padaku.
Apalagi mereka yang baru selesai membangun atau renovasi rumah, akulah
yang akan membuatkan pernak pernik bagian dalamnya untuk mereka. Mulai dari bed cover, sarung bantal, gorden dengan desain mewah, vitrage yang cantik, cushion, dll. Semua made by order.
Saat masih belum punya anak aku tak begitu merasakannya.
Apalagi saat anakku baru satu. Tapi setelah anggota keluargaku bertambah lagi
satu demi satu aku mulai keteteran.
Aku merasa mulai kekurangan waktu bersama anak-anak.
Padahal tujuanku menikah dan punya anak kan demi membentuk sebuah keluarga yang
sakinah. Tapi kenyatannya waktuku lebih banyak disita oleh pekerjaan.
Kenyataan ini mulai membuatku resah. Di satu
sisi pekerjaan ini prospeknya sangat bagus. Suamiku adalah seorang developer
sehingga dia butuh aku untuk melengkapi pekerjaannya. Tapi aku juga harus
memikirkan anak-anak yang membutuhkanku.
Akhirnya kuputuskan untuk beregenerasi. Dari sekian
banyak karyawan kupilih beberapa orang yang kuanggap akan mampu meneruskan
jejakku menjahit ‘halus’. Tapi mereka menyerah. Ada yang menyerah saat harus
mengunting bahan. Dia takut salah gunting dan bahan gorden yang bermeter-meter
dan mahal itu akan terbuang sia-sia. Ada yang tak sabar dan kurang
telaten sehingga hasil kerjanya jadi tak halus. Ada yang tidak
berminat.
Aku menyerah, semua kembali kukerjakan sendiri. Tapi
hari demi hari kinerjaku makin menurun. Bahkan pernah aku sampai muntah saat
memandangi bergulung-gulung tumpukan bahan kain gorden aneka warna di
ruang kerjaku.
That’s it!
Detik itu juga aku putuskan untuk berhenti. Aku tak bisa menjahit lagi.
Terbayang kembali saat bayiku yang baru berusia dua bulan
harus menyusu di pelukan sementara sebelah tanganku yang lain sedang memegangi
rimpel selebar 8 cm dan berkilometer panjangnya sedang dineci
pinggirannya. Terdengar pula suara batuk batitaku kena debu material bahan yang
sedang kugunting.
Aku harus memikirkan sebuah karir baru, pekerjaan yang
bisa kukerjakan di rumah dan bisa kuatur waktunya. Kapan harus bekerja dan
kapan harus mengurus keluarga. Pekerjan yang mampu menghasilkan uang
tanpa harus mengeluarkan banyak modal. Pekerjaan yang kusenangi karena aku akan
bersemangat jadinya bila aku cinta pekerjaan itu.
Cinta? Hmm, aku cinta baca, aku suka menulis diary.
Hingga setiap awal tahun aku pasti membeli satu diary tebal untuk kuisi hingga
tahun berakhir.
Dahulu sempat aku ingin jadi wartawan. Tapi setelah
punya anak tiga aku nggak mungkin deh jadi wartawan. Ya,
Allah.tunjukkanlah karir baru yang cocok untukku.
Dan Tuhan mendengar doaku. Secara kebetulan di sebuah
tabloid aku membaca kisah seorang penulis perempuan sukses yang membangun
sebuah perkumpulan penulisan non profit. Mereka akan memberi pelatihan kepada
siapapun yang ingin belajar menulis. Bahkan biarpun itu ibu rumah tangga atau
anak gelandangan sekalipun.
Hmm, aku akan menjadi penulis cerita anak saja. Aku
putuskan hal ini karena aku ingin anak-anak Indonesia bisa membaca buku yang
bermutu bukan hanya nonton televisi saja. Kelihatannya hal itulah yang harusnya
bisa kujadikan karir baruku.
Pertama aku bisa kerja dari rumah. Aku hanya butuh
alat untuk mengetik berupa komputer dan hobi membacaku bisa kujadikan
modal awal untuk menulis. Dan karir ini tidak punya masa pensiun sampai
kapanpun aku bisa tetap bekerja selagi mau.
Tapi aku harus belajar menulis dan harus punya
jaringan ke penerbit. Bagaimana caranya ya? Aku lalu mencari tahu apakah
organisasi penulis yang dimaksud itu ada cabangnya di kotaku. Tapi
ternyata mereka hanya punya cabang di ibukota propinsi. Berarti aku harus ke
kota Padang kalau mau belajar menulis.
Keesokan harinya aku naik bus ke Padang mencari
informasi tentang organisasi penulisan itu tapi tidak menemukan jawaban yang
memuaskan. Aku tahu tak ada pilihan lain. Aku harus ke Jakarta kalau mau
berhasil dengan pilihan karir yang baru ini. Sekarang pertanyaan yang ada adalah
mampukah aku menyakinkan suamiku untuk menyeberang pulau dan meninggalkan zona
nyaman kami.
Tidak gampang memang namun aku harus pergi. Aku
telah memutuskan, dan akhirnya pada tahun 2007 yang lalu kami pindah ke Jakarta.
Tanpa membuang-buang waktu lagi aku langsung bergabung dengan organisasi
kepenulisan non profit yang telah jadi tujuanku sejak mula.
Seiring keberhasilanku meninggalkan zona nyaman
finansial kami, suamiku memboikotku secara finansial. Dia keberatan dengan
keputusanku dan tak bisa memahami kenapa aku memutuskan untuk pindah karir.
Dia tidak mau membiayaiku bila itu berhubungan dengan
penulisan,hingga aku akhirnya harus membiayai sendiri semua keperluanku. Aku
menjadi tukang cuci pakaian karena aku butuh uang untuk transportasi ke
tempat pelatihan, untuk biaya rental computer, beli kertas, dll.
Hal ini melecut tekadku bahwa aku harus berhasil
secepatnya. Minimal sebelum anak-anakku masuk sekolah semua.
Alhamdulillah. Setelah dua tahun berlalu aku akhirnya berhasil juga.
Sekarang aku telah menjadi seorang penulis cerita anak dan ghostwriter. Bahkan salah satu karyaku memenangkan lomba
penulisan cerita misteri di sebuah majalah anak yang terkenal dan
bergengsi tahun 2009.
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah berkunjung ke blog ini, mohon maaf karena komentar akan dimoderasi dulu. Mohon ditunggu kunjungan balik saya ^__^